Trying to Conceive Means Trying to Accept

10.37

Tulisan ini dibuat untuk kalian para wanita yang sedang berjuang untuk menghasilkan keturunan. Well hey, you're not alone!


TTC atau Trying to Conceive biasa disebut oleh pejuang-pejuang seperti kita ketika menjalani proses-proses dalam memperbaiki kesuburan. Saya sendiri belum pernah dengar sebelum saya menjadi pejuang itu sendiri. Perjuangan saya mungkin belum sekeras dan sepanjang kalian-kalian yang sudah menikah bertahun-tahun lamanya dan belum menghasilkan keturunan. Sedikit ingin berbagi, dan berharap memberi energi positif bagi kalian yang sedang putus asa dalam berjuang. :)

Perjuangan TTC saya dimulai ketika memasuki tahun kedua perkawinan saya. Ketika menikah, saya dan suami memang sudah sepakat untuk menikmati hidup berdua selama setahun baru memiliki anak di tahun selanjutnya. Tapi manusia memang hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. 

Mei 2014

Saya dan suami memutuskan untuk (pertama kalinya) ke Dokter kandungan setelah hampir 3 bulan haid tak kunjung tiba, dan tespack tak kunjung 2 garis. Dari cerita-cerita teman dekat, Dr. Aswin Sastrowardoyo (and yes, dia masih sodara dr Dian Sastro lebih tepatnya Om dr Dian Sastro) sepertinya Dokter yang sabar dan enak diajak konsultasi. Datanglah saya dan suami ke RS Puri Cinere dimana Dokter Aswin praktek. Sebelumnya Dokter Aswin juga praktek di RS Fatmawati, namun ternyata tahun ini baru saja pensiun. 

Setelah menceritakan latar belakang kesehatan dan kebiasaan saya dan suami, Dokter Aswin melakukan USG Transvaginal untuk melihat lebih jelas telur-telur saya. Dari hasil USG terlihat banyak telur-telur saya yang kecil-kecil tidak matang. Ternyata itulah yang membuat haid saya tidak lancar. Dengan bahasa awam dan dibantu dengan corat-coretan gambar, Dokter Aswin menjelaskan apa yang terjadi. Sampai akhirnya saya dan suami paham apa yang dimaksud dengan PCO atau Polycystic Ovary. 

Dokter Aswin tampaknya salah seorang penganut positif thinking dan sangat berhati-hati dalam memvonis ataupun mengambil tindakan. Dari hasil konsultasi, Dokter Aswin hanya memberikan saya obat yang harus diminum pada hari ke-5 haid, yaitu Profertil 50mg. Disarankan pada hari ke-14 setelah haid konsul kembali untuk melihat kondisi telur setelah dissuport dengan obat.



Berikut rincian biaya untuk RS Puri Cinere:
Jasa Dokter -> Rp 200.000
Administrasi -> Rp 40.000
USG Transvaginal -> Rp 243.000
Profertil -> Rp 92.000

Juli 2014

Hampir dua bulan sudah dari terakhir kali saya ke Dokter, haid saya pun belum juga tiba. Antara resah dan bertanya-tanua, karena belum pernah sebelumnya haid saya tidak datang selama ini. Sempat sedikit GR juga, tetapi harapan itu dihancurkan oleh fakta bahwa hasil testpack masih 1 garis. 

Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah: apakah saya harus ke Dokter kandungan khusus Fertilitas, atau kembali ke Dokter Aswin lagi? 

Karena saya tidak ingin membuang-buang waktu lagi, saya dan suami memutuskan untuk konsul ke Dokter khusus Fertilitas. Sebelumnya Mama saya sudah menyarankan untuk ke Dr. Agus Surur yaitu Dokter khusus Fertilitas di RS Fatmawati. Tapi entah dengar kata Fatmawati kok ada bayang-bayang suster yang judes, dan antrian pagi hari yang mengular. Setelah cari-cari tahu, ternyata Dr. Agus Surur juga prakter di RSIA Hermina Ciputat. Kebetulan saya dan suami juga berpikir untuk pindah RS swasta yang lebih murah dari RS Puri Cinere.

Datang lah saya dan suami ke Dokter Agus. Selain RSIA Hermina di Ciputat masih terhitung RS baru, jadwal praktek Dokternya pun cocok di hati. Kami pilih jadwal Dokter Agus di hari Sabtu sore. 

Pertama bertemu dengan Dokter Agus kesan pertama adalah, kok beda yah dengan Dokter Aswin yang suka mengajak ngobrol pasien. Dokter Agus bisa dibilang sangat pendiam dan pasif. Karena kalau kita tidak bertanya dia tidak akan menjelaskan, penjelasannya pun tidak sejelas cara Dokter Aswin menjelaskan. 

Setelah menjelaskan latar belakang saya dan suami, mulailah dilakukan USG Transvaginal. Dari hasil USG oleh Dokter Agus, ternyata mengejutkan! Tiba-tiba terlihat ada pembesaran di saluran tuba kanan saya yang disebut Hydrosalpinx. Menurut penjelasan Dokter Agus, Hydrosalpinx adalah adanya pembesaran berisi cairan yang menutup jalannya sel telur menuju rahim. Sehingga telur-telur yang berada di Ovarium kanan saya tidak dapat keluar untuk dibuahi oleh Sperma.



Saya dan suami cukup shock dengan mengetahui ternyata bukan hanya PCO yang saya hadapi tetapi juga penyumbatan pada saluran tuba kanan. Belum lagi fakta-fakta yang Dokter Agus katakan bahwa sekalipun kedua saluran tuba sudah tidak paten, masih tetap bisa hamil melalui bayi tabung. Well hey, satu gak paten bukan berarti yang lain gak berfungsi kan? Just give us a hope a not worse case. 

Dari hasil konsultasi, Dokter Agus memberikan obat supaya haid dan disarankan datang kembali pada hari ke-5 haid. Untuk kasus Hydrosalpinx belum ada tindakan apapun dari Dokter Agus.

Rincian biaya di RSIA Hermina:
Jasa Dokter -> Rp 160.000
Administrasi -> tidak ada
USG Transvaginal -> Rp 247.000


Agustus 2014

Setelah haid dengan induksi, di support dengan Profertil. 14 hari setelah haid saya dijadwalkan konsul lagi ke Dokter Agus untuk cek telur. Dari hasil cek telur ternyata ada satu telur yang sudah matang (karena di support Profertil) di indung telur sebelah kiri. Menurut Dokter Agus, itu peluang yang bagus. Karena kalau telur yang besar ada di indung telur kanan, maka kemungkinan telur bertemu dengan sperma sangat kecil karena adanya Hydrosalping di kanan.

Setelah cek telu Dokter Agus memberi rujukan untuk cek gula darah dan insulin untuk mengetahui sebab dari PCO saya. Untuk Hydrosalping, Dokter Agus memberi obat antibiotik.

September 2014

Setelah hasil laboratorium saya di analisa, ternyata PCO saya bukan berasal dari hormon insulin yang berlebihan. Selanjutnya Dokter Agus menyarankan saya untuk HSG (Hydrosonography) yaitu  foto rontgen sambil memasukan cairan ke dalam kedua saluran telur. Untuk HSG ini harus dijadwalkan, yaitu (kalau tidak salah) hari ke-12 setelah haid. Dan harus puasa berhubungan selama 5 hari. Selain itu, suami saya juga dirujuk untuk cek sperma. Untuk cek sperma juga diharuskan puasa berhubungan maksimal 2 hari, tidak boleh lebih.

Sebelum melakukan tes HSG, saya sempat mencari tahu seperti apa tes HSG itu. Dari hasil gugling, ada yang bilang sakit dan ada juga yang bilang tidak sakit. Cukup parno memang.

Di hari H dimana saya dijadwalkan untuk HSG, suami saya tidak bisa ikut, sebagai support saya meminta Mama untuk menemani. Sebelum memasuki ruangan Radiologi, seorang suster memberi nota pembayaran dan resep obat yang harus ditebus saat itu juga. Ternyata obat yang harua saya tebus adalah obat pengurang rasa sakit. Bentuk obatnya seperti peluru runcing dan agak besar. Setelah memberikan obat tersebut ke suster, saya disuruh masuk ke ruang radiologi dan membuka celana. Dalam posisi tengkurap, suster memasukkan obat tadi ke dalam anus saya. >.<  Karena diberi sedikit lubricant dan keahlinan suster, obat sebesar peluru itu berhasil masuk ke anus saya tanpa ada rasa sakit sedikitpun. Obat ditunggu untuk bereaksi sekitar 20-45 menit.

Setelah sekitar 45 menit saya dipanggil masuk lagi ke ruang Radiologi. Dan Mama diperbolehkan masuk juga untuk melihat prosesnya. Saya disuruh tiduran diatas tempat tidur keras yang transparant, lalu posisi kaki mengangkang terbuka. Tidak lama Dokter Radiologi mulai 'bekerja'. Sebuah alat dimasukan ke vagina agar bisa terbuka lebih lebar, supaya bisa masuk sebuah kateter yang lebih mirip seperti balon panjang. Setelah semua masuk, barulah disuntikan cairan ke dalam kateter sambil foto rontgen berlangsung. 

Proses fotonya sih hanya memakan waktu kira-kira 10 detik. Lebih lama proses memasukan alatnya. Ketika cairan masuk, ada rasa ngilu seperti hari pertama menstruasi di bagian kiri. Tapi tidak terasa apa-apa di bagian kanan saya. 

Kurang lebih 30 menit hasil rontgen HSG pun sudah bisa diambil. Sempat menilik gambarnya tapi entahlah gak terlalu paham. Sempat syiok juga membaca kertas hasil jawaban dari Dokter Radiologi, terdapat tulisan "Non Paten" di salah satu tuba saya. :( 

Biaya HSG di RS Hermina: Rp. 1.113.000 (sudah termasuk biaya Dokter Radiologi dan obat yang dimasukkan ke anus)

Seminggu setelah saya melakukan HSG, suami saya pun melakukan cek sperma. Untuk cek sperma, diharuskan "puasa" berhubungan 2 hari sebelumnya. Tapi juga tidak boleh lebih dari 5 hari puasanya. Sebelum cek sperma kami sempat terbayang-bayang menggelikan bagaimana suami saya harus "mengeluarkan" spermanya di laboratorium. Ternyata tidak seperti yang dibayangkan, untuk cek sperma suami dan saya diberi satu ruangan kamar rawat inap untuk proses "mengeluarkan" sperma (hihi.. ). Tapi karena grogi, suami saya memilih "mengeluarkan" sendiri di kamar mandi kamar. Huufftt..

"Normozospermia" itu lah yang saya baca dari hasil cek sperma suami saya. Karena deg-degan dan penasaran, sebelum memberikan hasilnya ke Dokter Agus, saya sudah gugling duluan arti "Normozospermia" itu. Alhamdulillah ternyata hasil gugling berkata bahwa itu artinya sperma suami saya normal.. Hihi..

Biaya cek sperma di RS Hermina: Rp. 215.000


Oktober 2014

Dokter Agus menyarankan saya untuk mencoba terapi "Diathermy". Terapi ini sebenarnya bagian dari Fisioterapi, prosesnya hanya menghangatkan bagian perut untuk mencairkan cairan yanh terdapat di saluran tuba.

Sebelum terapi saya sempat survey biaya dulu. Ternyata di RS Hermina hanya memiliki alat Diathermy MWD, sedangkan untuk kasus saya perlu alat yang bisa menjangkau panas hingga lebih dalam lagi yaitu dengan alat SWD. Sempat menghubungi beberapa RS untuk menanyakan hal ini sekaligus survey biaya. Akhirnya keputusan jatuh ke RS Fatmawati. Karena selain lokasi yang dekat dari rumah, biayanya juga sangat murah. Dengan rujukan dari Dokter Agus di RS Hermina, saya dirujuk lagi untuk konsul ke Dokter Rehab Medik. Dokter Rehab Medik yang menentukan berapa kali saya harus melakukan terapi. Barulah saya dirujuk untuk 10x terapi setiap hari berturut-turut (kecuali hari Minggu).

Biaya terapi Diathermy (per kedatangan);
RS Fatmawati Rp 39.000 (untuk terapi pagi 08:00-12:00
                      Rp 90.500 (untuk terapi siang 14:00-17:00 atau Sabtu 08:00-12:00)

RS Puri Cinere Rp 75.000
RS Mayapada Rp. 100.000 (belum termasuk biaya adm RS)


November 2014:

10x bolak-balik RS Fatmawati sudah khatam saya lakukan. Setelah hari ke-5 terdapat semacam cairan keputihan yang keluar, tapi tidak terlalu banyak. Seminggu setelah selesai terapi saya kembali konsul ke Dokter Agus. Setelah dilihat dari USG Transvaginal, terlihat Hydrosalping saya mengecil. Dokter Agus tidak menyarankan saya untuk melanjutkan terapi, tetapi hanya memberikan obat antibiotik. Kali ini Dokter Agus memberikan obat dengan dosis yang menurutnya lebih tinggi. Dan tentu saja ternyata harganya pun lebih mahal. 

Untuk obat CEFILA (Cefixime 200mg) 15 butir sekitar Rp 420.000


December 2014:

Akhir tahun semakin dekat, saya sudah hampir frustasi dengan Dokter Agus yang hanya memberi saya obat dan obat lagi. Why should i took a bitter pills while others just enjoy their sweet life. Tak jarang saya menangis di malam hari menyalahkan dunia yang tidak adil ataupun meratapi nasib ketika mendengar seseorang teman atau kerabat yang positif hamil. Sementara saya masih belum tahu apakah saya bisa hamil atau tidak. Beberapa acara 4 bulanan tidak saya hadiri karena tidak dapat menerima kenyataan bahwa mereka-mereka belum setahun menikah dan kini sudah bisa merayakan 4 bulanan?

Life is so unfair sometimes, but there's no other way than just fight for it.

Suatu hari saya memutuskan untuk mencoba second opinion dari Dokter lain. Di RS Hermina, Dokter khusus fertilitas selain Dokter Agus adalah Dr. Djoko Sekti Wibisono SPOG,K.Fer. Namun respon Dokter Djoko jauh dari yang saya harapkan. Sedikit shock juga dengan cara konsultasi Dokter Djoko yang tidak ramah. Lebih tepatnya saya dimarahi karena menurutnya program hamil tidak boleh ganti-ganti Dokter. Menurut Dokter Djoko, kasus Hydrosalping ini tidak ada solusi lain selain operasi dan dipotong bagian yang infeksi. Dokter Djoko juga seakan menyalahkan kenapa saya tidak meminta penjelasan lebih ke Dokter Agus tentang penyebab PCO saya. Tentunya saya sebagai pasien hanya orang awam yang akan percaya saja apapun yang Dokter saya katakan. 

Jawaban dari hasil konsultasi dengan Dokter Djoko adalah bahwa dirinya tidak sepakat dengan program Dokter Agus yang menggunakan cara konvensional dalam menangani Hydrosalping. Karena menurutnya di seluruh dunia mana pun Hydrosalping ini tidak akan sembuh kalau tidak dengan operasi. 

Dokter Djoko seakan menghancurkan harapan saya dan membuang sia-sia segala usaha yang sudah saya lakukan sejauh ini. Sepulang dari RS, saya mengurung diri di kamar dan tidak henti-hentinya menangis. 

     -------


Mendengar kata OPERASI hal pertama yang ada di kepala adalah MAHAL. Sempat survey di RS Hermina, untuk operasi Laparoscopy ini harga paketnya mulai dari Rp 12jt - 27jt tergantung dari kelas kamar yang diambil.

Tentunya sekarang ini saya tidak punya cukup biaya untuk itu, dan mencoba alternatif ke RS Fatmawati selain berharap bisa lebih murah, Dokter Agus pun praktek di sana. Saya sangat bersyukur karena bekas tetangga saya bekerja di RS Fatmawati. Dialah yang menyarankan saya untuk memanfaatkan BPJS saya. Menurutnya operasi Laparoscopy itu bisa dicover oleh BPJS. Tapi yaa.. Yang namanya GRATIS tentunya perlu perjuangan.

Untuk bisa berobat dengan BPJS di RS Fatmawati, sebagian orang sampai harus mengantri ambil nomor dari sehabis subuh. Sekali lagi saya sangat bersyukur mengenal seseorang yang bekerja di sana. Saya cukup datang sebangunnya saya (tanpa perlu mengambil nomor) lalu masuk ke ruangan Dokter ketika nama dipanggil. Entah mungkin sudah takdir atau memang Allah perlahan menjawab Doa saya, tiba-tiba ketika saya memasuki ruangan Dokter Agus, sudah ada Dokter lain yang menggantikan Dokter Agus yang sedang ada operasi. Dr. Malvin Emeraldi, SPOG langsung memperkenalkan diri ketika saya memasuki ruangannya. Dari cara memperkenalkan diri sudah terlihat Dokter Malvin orangnya sangat komunikatif. Dan auranya sangat positif, sehingga saya sebagai pasien pun tiba-tiba bahagia bagaikan menemukan secercah harapan. Dari awalnya hanya menggantikan Dokter Agus, saya dan suami langsung memutuskan untuk melanjutkan konsultasi ke Dokter Malvin saja. Karena pindah Rumah Sakit, saya sudah siapkan semua data dan hasil check2 yang pernah dilakukan. 

Ketika saya mengutarakan bahwa ada saran dari dua dokter sebelumnya bahwa kasus Hydrosalpinx saya ini perlu dilakukan tindakan operasi Laparoscopy, karena dengan terapi sebelumnya tidak ada perubahan. Dokter Malvin pun setuju, kemudian saya dijadwalkan untuk operasi. Karena melalui RS negri dan fasilitas BPJS, untuk operasi ini perlu mengantri sekitar 3 bulan. Sementara harapan saya dan suami bisa segera melakukan operasi agar segera bisa "mencoba" lagi. 

Memang proses program ini benar-benar memerlukan kesabaran lebih. Selain sabar menanti, kesabaran kita sebagai suami istri juga diuji ketika mendengar berita orang lain yang belum lama menikah sudah terlebih dahulu hamil. Tak jarang mood saya terpuruk dan menangis meraung-raung setelah mendengar kabar-kabar tersebut. Merasa dunia tidak adil adalah pikiran yang seringkali terlintas. 

Saya pertama kali konsultasi ke Dokter Malvin langsung memutuskan "Oke, this is it!" Seperti mendapat energi positif dan kembali semangat berjuang. Sambil menunggu antrian operasi, syarat-syarat check up sebelum operasi saya jalanin satu per satu. Mulai dari cek darah, cek urine, rontgen dada, sampai konsul ke dokter jantung, anastesi, dll. Total hasil check up saya sekitar Rp 700.000 lebih, dan tak sepeser pun uang yang keluar karena saya menggunakan BPJS. T_T  *terharu..*


Februari 2015

Tiba saat jadwal operasi saya tiba. Jadwal operasi saya pada 27 Februari yaitu hari Jumat, dan saya harus masuk kamar perawatan sehari sebelumnya. Ternyata mencari kamar kelas 1 (sesuai dengan kelas BPJS saya) tidak semudah yang dibayangkan. Sejak adanya fasilitas BPJS, kamar kelas 1 sekarang seringkali penuh. Saya beruntung punya kenalan yang bekerja di Fatmawati, jadi bisa memesan kamar kelas 1 tanpa harus menunggu terlalu lama. 

Sebelumnya saya belum pernah masuk Rumah sakit dengan kasus besar seperti ini, apalagi harus menjalani operasi. Benar-benar belum terbayang rasanya. Malam sebelum operasi tidur saya tidak nyenyak, campur aduk rasanya. Karena malamnya minum obat cuci perut sebelum puasa 6 jam, jadi dari malam hari saya sudah tidak boleh makan.

Di hari Jumat, saya masih belum tahu jam berapa saya akan di operasi. Karena saya mendapat urutan ke-3. Dijadwalkan kira-kira jam 1 siang akan dipanggil ke ruang operasi. Sambil harap-harap cemas, haus, dan lapar, sampai jam 2 saya belum dipanggil juga. Akhirnya pukul 14:30 tiba lah saatnya suster memanggil saya untuk memasuki ruang operasi. Saya yang tadinya masih tertawa-tawa, tiba-tiba langsung dingin ketakutan. Karena sebelumnya dokter mengatakan bahwa selama operasi hanya dilakukan bius lokal bukan bius total. Saya langsung terbayang rasa sakitnya disuntik di punggung kalau memang di bius lokal. 

Ketika memasuki ruang operasi, saya seperti hanya bisa bergantung kepada Tuhan. Karena keluarga hanya bisa mengantarkan sampai pintu masuk saja. Dengan berbekal doa, saya dihantarkan suster berjalan menuju ruang operasi 6. Ternyata ruangan operasi tidak semengerikan yang dibayangkan, tidak gelap seperti di film-film, dan tidak juga tegang. Bahkan ruangan operasi saya cenderung terang, ada sebuah TV dan CPU yang memutarkan lagu. 

Tidak lama menaiki tempat operasi, saya disuntik dan tiba-tiba lenyap tidak ingat apa-apa. Kemudian tiba-tiba ada yang membangunkan saya "Mbak.. Bangun Mbak, udah selesai ya.." Alhamdulillah ternyata saya dibius total. Saya keluar ruang operasi pada pukul 17:30 dengan ada rasa nyeri di bagian perut bawah. Tentunya saya bertanya-tanya "Apa yang dilakukan Dokter pada saya?"

Persis setelah operasi, keluarga saya langsung diberi laporan seperti print-an foto dan penjelasan tindakan saat operasi. Dan ternyata ada semacam daging yang melekat di indung telur saya yang kemudian diambil untuk diperiksa.


Ternyata dari hasil penjelasan Dokter Malvin setelah operasi, penyumbatan saya hanya terjadi di ujung tuba dekat indung telur. Sementara tangkai tuba saya sendiri masih bagus tidak infeksi, jadi Dokter Malvin memutuskan untuk tidak mengangkat tuba kanan saya (syukur Alhamdulillah ya Allah T_T). Tapi penyumbatan di ujung tuba dibuka dan dikeluarkan isinya (berupa cairan dan daging di atas) 

Bekas operasi saya pun hanya berupa 4 titik di perut yang diperban. Salah satunya pusar saya. 


Setelah operasi saya merasa lebih lega, dan sangat bersyukur telah melewati proses ini. Segalanya seperti sangat dimudahkan. Kini saya kembali semangat untuk berjuang. Saya rasa tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mempercayainya. 

For all TTC fighters out there, you're not alone! :)


Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images